Suara pers, suara siapa?
Mari cermati beragam kritik terhadap industri media yang akhir-akhir ini dilontarkan publik. Industri media belakangan ini kerap kali melakukan kesalahan yang sengaja disajikan untuk publik. Menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, ada empat masalah dalam dunia pers Indonesia. Keempat masalah tersebut adalah dominasi kepemilikikan, media partisan, media yang tak mendidik, dan menjamurnya media abal-abal.
Beberapa media kini dimiliki oleh politisi dan pengusaha. Tentu itu akan berdampak kepada materi yang dihasilkan oleh media yang bersangkutan. Materi media tersebut nantinya akan dikemas sesuai dengan kepentingan dan kehendak pemilik media. Akibatnya media terkesan berpihak terhadap kepentingan tertentu bukan kepentingan publik. Di lain situasi, media kerap kali menyajikan materi tak perlu yang terkesan membodohi. Sebut saja acara gosip, konten porno, kekerasan, berita palsu, dan sejenisnya.
“Tugas pers bukanlah untuk menjilat penguasa, melainkan untuk mengkritik yang sedang berkuasa” -P.K Ojong, Sang Perintis
Dengan dalih kebebasan pers, media secara terang-terangan menyebar informasi ‘pesanan’ ke publik. Reproduksi informasi itu tentu memiliki tujuan untuk melancarkan hegemoni ekonomi-politik para pemilik media. Padahal, kebebasan pers bukan sekadar persoalan kebebasan media melakukan peliputan dan menyiarkan sebuah berita. Kebebasan pers juga merupakan kondisi yang menjamin publik memiliki hak untuk mendapatkan informasi maupun pengetahuan yang dibutuhkan, serta menyatakan gagasan-gagasannya. Kondisi itu secara ideal bisa tercipta ketika media mampu memunculkan ruang publik, dengan mengalirkan arus informasi secara sehat.
Sampai sekarang rasanya jarang ada media yang dapat mengalirkan arus informasi secara sehat. Kebanyakan media terjebak di antara idealisme dan kepentingan pemilik. Mereka mengobral ungkapan kebebasan pers, tapi dalam prakteknya mereka masih belum bebas.
Media yang ada tidak cukup siap untuk menjadi moderator pertukaran informasi yang sehat. Kita butuh jurnalis publik bukan jurnalis privat. Jurnalis publik yang terus mengucapkan kebenaran untuk mencerdaskan bangsa. Bukan mengedarkan kebodohan dangkal demi keuntungan. Maka dari itu negeri ini butuh media alternatif yang siap mengalirkan arus informasi secara sehat. Media yang siap memberi kritik, gagasan, dan pembahasan yang sehat kepada publik.
Pers(pektif) Mahasiswa
Pers mahasiswa (persma) pun menjadi jawaban atas kekhawatiran tersebut. Persma muncul sebagai wadah bagi mahasiswa untuk menyalurkan ide kreatif dalam bentuk tulisan dan melahirkan pikiran segar dengan perspektif mahasiswa. Perspektif mahasiswa bersambut dengan idealisme persma.
Apa idealisme persma? Dengan integrasi antara pers dan mahasiswa, persma memiliki idealisme untuk melakukan kontrol sosial. Kontrol sosial yang mengandaikan aktivitas persma tak terbatas pada usaha penerbitan. Konteks itu menggiring ke satu pemahaman bahwa persma harus kritis terhadap kekuasaan dan peduli pada keadaan.
Persma juga harus konsisten dengan prinsipnya, yaitu jurnalisme kerakyatan yang menyajikan informasi yang tidak terfokus untuk mendapatkan keuntungan. Hal inilah yang mendasari perbedaan antara pers secara umum dengan pers mahasiswa. Tidak adanya kepentingan ekonomi besar di balik pers mahasiswa disinyalir mampu mempertahankan prinsip independen yang dipegang teguh oleh persma.
Independensi persma diharapkan dapat menghadirkan diskursus publik dengan partisipan utama para mahasiswa. Mahasiswa yang dimaksud bukan hanya dari pengurus persma, melainkan semua mahasiswa yang ingin menyampaikan pendapat. Beragam pendapat dari perspektif mahasiswa nanti diuji lebih detail dan diluruskan oleh narasumber yang berkompeten. Dengan begitu persma dapat mengambil peran media yang seharusnya dipenuhi, namun kini kerap diabaikan, yaitu sebagai forum diskusi yang berupaya menyelesaikan masah. Karena, selain menjadi sumber informasi media seharusnya juga menjadi forum diskusi penyelesaian masalah.
Dengan forum diskusi, mahasiswa yang kini hidup di tengah kepungan era hedonisme paling tidak mampu menjaga jarak dan tetap bersikap kritis. Sementara itu, untuk tak memisahkan apa yang dipelajari dengan realita, persma dapat menjalankan proses advokasi kepada masyarakat yang minim akses. Itu untuk mematahkan asumsi bahwa universitas (termasuk mahasiswa) jauh dengan masyarakat sekitar.
Inovasi yang dilakukan persma, seperti situs online kedepannya akan membawa dampak yang lebih terhadap publik. Dampak yang sebelumnya masih terbatas, dapat dinikmati kalangan yang lebih luas. Dari situ diharapkan persma dapat membantu memunculkan perspektif mahasiswa yang bergagasan segar, berwawasan luas, dan peduli akan kemajuan.
Persma dapat membantu pemerintah dengan koreksi terhadap kebijakannya. Dapat juga membantu masyarakat untuk tahu lebih banyak yang mungkin tidak disampaikan oleh media pada umumnya. Dengan banyak ide yang disebar dengan tulisan, nantinya akan berdampak pada literasi masyarakat. Perspektif yang dihadirkan mahasiswa tentu akan relevan dengan masyarakat. Karena, mahasiswa diberi tugas untuk mengabdi pada masyarakat. Salah satu bentuknya ialah menyalurkan informasi sehat kepada publik.
Kesimpulannya ialah, persma diminta hadir membawa berbagai perspektif mahasiswa yang nantinya akan memberikan dampak baik kepada publik. Arus informasi yang keruh oleh kepentingan tertentu akan dijernihkan dengan tekad mahasiswa dalam membawa perubahan yang lebih baik.
Refrensi:
· Utomo, Wisnu Prasetya. 2016. Suara Pers, Suara Siapa? Yogyakarta: Pindai
· Schenchter, Danny. 2007. Matinya Media. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
· Widianto, Eko. 2015. “4 Masalah Media di Indonesia Versi AJI”, https://nasional.tempo.co/read/658626/4-masalah-media-di-indonesia-versi-aji , diakses pada 25 Agustus 2018 pukul 20.06
· Mufid, Muhamad. 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Prenamedia Group
· Utomo, Wisnu Prasetya. 2016. “Mempertanyakan Peran Pemantau Media”, http://www.remotivi.or.id/amatan/48/Mempertanyakan-Peran-Pemantau-Media , diakses pada 1 September 2018 pukul 15.18
Leave a Reply