Home ยป Artikel ยป Merasa Sepi karena Sistem Transportasi yang Tidak Memadai

Merasa Sepi karena Sistem Transportasi yang Tidak Memadai

sistem transportasi

Ditulis oleh: Muhammad Rizqi Akbar dalam rangka mengikuti kompetisi menulis yang diselenggarakan oleh Mojok.co X By.U dengan tema: Kesehatan Mental. Sebagai informasi, artikel ini mendapat penghargaan juara 1.

Di mata pemerintah, mungkin kita terlihat begitu manja dan banyak mau. Namun, dalam banyak hal, negara tidak terlalu peduli dan memaksa kita mengurus diri sendiri.  Salah satunya terkait transportasi, yang jika dirunut, bisa berpotensi menyebabkan depresi.

Seperti yang sudah sering dipersoalkan, transportasi publik di Indonesia tidak cukup memadai. Alhasil, banyak orang yang memilih menggunakan kendaraan pribadi untuk kegiatan sehari-hari. Implikasinya, banyak jalanan macet dan memicu stres pengguna jalan. Cukup familiar dengan istilah โ€œtua di jalanโ€, kan?

Istilah itu saya yakini benar-benar terjadi ketika menyusuri Jakarta. Di pagi hari, para pengemudi tergesa-gesa karena khawatir telat kerja. Lalu, saat sore hingga malam mereka tampak lelah tak bertenaga. Ada yang berdesak-desakan di dalam gerbong. Sementara, mereka yang di balik setir hanya bisa bengong. Apalagi kalau bukan karena macet.

Padahal, Jakarta merupakan salah satu kota dengan transportasi publik yang lebih maju dibanding daerah lain. Meski begitu, kota ini juga merupakan daerah dengan kemacetan terparah di Indonesia, bahkan dunia. Lantas, apa jadinya daerah lain yang tidak semaju Jakarta? Mari kita telaah masalahnya.

Masalah Transportasi yang Tidak Memadai

Source: Pixabay

Kemacetan tidak hanya tentang jumlah kendaraan pribadi yang melebihi kapasitas jalan. Lebih jauh lagi, ini terkait dengan tata kota yang berantakan. Tata kota di Indonesia, terutama Jakarta, begitu memanjakan kendaraan pribadi, tetapi abai terhadap infrastruktur transportasi. Hal ini sangat terkait dengan begitu besarnya cuan yang dihasilkan oleh industri otomotif. Tentunya, tidak seperti transportasi publik yang justru menguras anggaran negara karena memang fokusnya untuk memenuhi kebutuhan mobilitas masyarakat, alih-alih mencari untung. Ujung-ujungnya, kendaraan pribadi menjadi opsi yang tidak terhindarkan untuk kegiatan sehari-hari.

Hal tersebut bisa membuat warga terlalu bergantung pada kendaraan pribadi. Perlu disadari, ketergantungan tersebut dapat merembet ke berbagai lini. Misalnya, biaya perawatan, bensin, pajak, dan printilan lainnya bisa menguras kantong. Belum lagi terjebak macet selama berjam-jam bisa membuat kita semakin jarang berinteraksi dengan orang lain.

Sayangnya, pemerintah tidak menangkap adanya potensi masalah tersebut. Pemerintah tampak semakin berpihak pada industri otomotif alih-alih rakyatnya. Lihat saja wacana menaikkan tarif KRL dan penolakan penambahan unit KRL di saat membludaknya antrean

Ketidakberpihakan ini memiliki implikasi yang panjang. Mulai dari menurunnya angka pengguna karena harga naik, semakin banyak jumlah pengguna kendaraan pribadi, hingga menurunnya dukungan masyarakat terhadap kebijakan transportasi publik. Lalu, apa dampaknya? Tentunya, hal ini akan berdampak fatal, baik dari segi mobilitas, lingkungan, serta kesehatan fisik dan mental.

Dampaknya bagi Kesehatan Mental

Transportasi publik memegang peran penting dalam kehidupan di kota. Ia memberikan aksesibilitas dan mobilitas yang dibutuhkan bagi masyarakat untuk menjalani rutinitas sehari-hari. Namun, ketika transportasi publik tidak memadai, itu akan berdampak besar bagi kehidupan masyarakat.

Umumnya, transportasi publik yang tidak layak akan sering mengalami keterlambatan, yang dapat memicu stres. Para pengguna transportasi publik ini akan merasa tertekan oleh ketidakpastian, risiko keterlambatan, serta kerumunan yang tidak nyaman di dalam kendaraan. Hal ini sangat mungkin mengganggu kenyamanan dan memengaruhi kesehatan mental seseorang.

Selain stres, keterlambatan juga dapat mengakibatkan kehilangan waktu yang berharga sehingga memengaruhi produktivitas hingga kesejahteraan. Ketika seseorang harus membuang waktu berjam-jam, yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu singkat, mereka akan merasa frustrasi dan putus asa. Hal ini juga dapat berdampak buruk bagi kesehatan mental, terutama pengalaman tersebut terjadi dan menjadi rutinitas sehari-hari.

Transportasi publik yang tidak memadai juga dapat memicu isolasi sosial. Ketika seseorang merasa kesulitan mencapai tujuan dengan mudah, mereka mungkin enggan untuk terlibat dalam aktivitas sosial atau pertemuan dengan orang lain. Hal ini dapat mengarah pada perasaan kesepian dan terasing.

Keengganan itu turut diamini oleh beberapa teman saya di Jakarta. Ketika diajak bertemu, mereka agak enggan karena tidak ada tenaga untuk melakukan perjalanan yang melelahkan. Belum lagi, kini ditambah polusi. Jadi, wajar bila beberapa orang bisa merasa kesepian di tengah keramaian kota.

Perihal Kesepian, Apa yang Perlu Diperhatikan?

Merasa kesepian lumrah dihadapi oleh orang-orang, khususnya perantau, di kota-kota besar. Misalnya, di Jakarta, di mana orang-orangnya serba terburu-buru, egois, dan individualistis. Sifat-sifat yang melekat tersebut bisa dimengerti mengingat banyak pekerja di Jakarta yang tinggal di kota-kota penyangga dan jadwal transportasi publik yang cukup terbatas.

Sebagai kota dengan populasi yang cukup padat, seharusnya orang di Jakarta tidak pernah mengalami kesepian. Namun, kenyataannya justru sebaliknya: banyak orang di Jakarta yang merasa kesepian. Fenomena serupa juga terjadi di Seoul, Tokyo, London, dan New York.

Akan tetapi, masalahnya bukan pada jumlah populasi yang kurang banyak. Justru masalahnya berada di hubungan sosial yang semakin menipis dan tidak berkualitas. Dalam artian, kita gagal membangun koneksi emosional yang bermakna dan pada akhirnya merasa kesepian.

Tidak bisa dipungkiri, perasaan kesepian bisa memicu munculnya gangguan kesehatan mental dan kesehatan fisik. Meski begitu, sebagian besar orang tidak sadar bahwa kesepian itu berbahaya. Bahkan, menurut Susan Furr, dkk (2001), kesepian merupakan salah satu faktor yang menyebabkan depresi dan percobaan bunuh diri. Mengingat hal itu, maka perlu adanya upaya serius dan terencana untuk mengatasi problem ini.

โ€œSaya yakin kita perlu mempertimbangkan untuk menganggap kesepian sebagai tanggung jawab pemerintah,โ€ kata Anggota Parlemen Australia Andrew Giles, dalam pidatonya pada 2018. Rasanya kita bisa sama-sama sepakat dengan pendapat Andrew Giles ini. 

Menyediakan Transportasi yang Memadai

Tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan transportasi yang memadai akan menjadi langkah penting. Keterlibatan pemerintah dalam mengatasi masalah transportasi, misalnya, dapat memengaruhi kesejahteraan sosial, termasuk kesehatan mental masyarakat. 

Peningkatan aksesibilitas dan keandalan transportasi publik dapat memiliki dampak positif yang signifikan pada kesehatan mental. Ketika individu merasa lebih nyaman dan terjamin saat menggunakan transportasi publik, mereka dapat mengurangi stres, meningkatkan efisiensi waktu, dan merasa lebih terhubung dengan masyarakat. Meningkatnya mobilitas juga dapat membuka peluang untuk lebih banyak aktivitas sosial dan rekreasi, yang dapat mendukung kesejahteraan mental secara keseluruhan.

Sekali lagi, transportasi publik yang tidak memadai memiliki dampak yang lebih dalam daripada sekadar ketidaknyamanan fisik. Stres, kecemasan, isolasi sosial, dan perasaan tidak terkendali dapat muncul sebagai akibat dari pengalaman transportasi yang buruk. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan badan terkait untuk berinvestasi dalam peningkatan sistem transportasi publik yang andal, nyaman, dan efisien. Dengan cara ini, kita dapat mengurangi dampak negatifnya pada kesehatan mental masyarakat dan menciptakan lingkungan perkotaan yang lebih seimbang dan mendukung.

(*)

View this post on Instagram

A post shared by MOJOK (@mojokdotco)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *